PEMBAHASAN
A. Asal Muasal Lahirnya Imperialisme Modern
Imperialisme terjadi dari timbulnya
kapitalisme yang merupakan aliran di bidang ekonomi yang berpendapat bahwa
untuk meningkatkan pendapatan perlu ditunjang dengan jumlah modal/ kapital yang
banyak yang ditanamkan dalam berbagai usaha. Pada kapitalisme kuno, kapitalis
(pemilik modal) yang kaya raya hanya merupakan pedagang perantara yang
berkembang misalnya di Italia antara abad XIII – XIV di kota-kota dagang
Venesia, Genoa dan lain-lain.
Kapitalisme modern muncul sejak
revolusi industri, kapitalis merupakan produsen dan sekaligus pedagang dan
distributor. Sebagai produsen mereka membutuhkan bahan mentah maupun bahan baku
untuk industri serta pasar. Mereka mendesak pemerintah untuk mencari tanah
jajahan guna memenuhi kebutuhan bahan mentah dan pasar tersebut sehingga
lahirlah Imperialisme Modern.
Dahulu fungsi tanah jajahan itu
hanya untuk dikeruk keuntungannya. Imperialisme semacam ini disebut
Imperialisme Tua (kuno). Namun kemudian sejak tahun 1870 di Indonesia
berkembang Imperialisme Modern, sebab :
1. Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal hidup.
2. Indonesia menjadi negeri pengambilan bahan-bahan
mentah untuk pabrik Eropa.
3. Menjadi negeri penjualan dari hasil produksi.
4. Menjadi tempat penanaman modal asing.
Sejak saat itu Indonesia dibuka
untuk kepentingan modal asing, politik ini disebut Politik Pintu Terbuka.
Banyak Negara yang menanamkan modalnya seperti, Belanda, Inggris, Amerika,
Jepang, Belgia dan masih banyak lagi. Dengan demikian Imperialisme Indonesia
telah bersifat Internasional, dimana modal asing terutama ditanamkan dan
dikembangkan dalam sector pertanian, karet, the, tembakau, kopi, dan
pertambangan minyak bumi dan lain-lain.
Imperialisme berasal dari kata imperare
artinya memerintah atau menguasai. Daerah kekuasan disebut imperium.
Imperialisme adalah paham yang bertujuan menguasai daerah lain untuk dijadikan
wilayah kekuasaannya. Semakin luas daerah yang dikuasai semakin kuat dan
masyurlah negara dan rajanya. Imperialisme dibedakan menjadi imperialisme kuno
dan modern. Imperialisme kuno berlangsung sejak penjelajahan samudra oleh
Spanyol dan Purtugis akhir abad 15 dan 16 semboyan imperialisme kuno adalah
"3G" gold (mencari kekayaan yang berupa emas), gospel (menyebarkan
agama Nasrani), glory (kejayaan negara dan raja). Jadi imperialisme ialah
sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah
contoh imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu.
Imperialisme modern berkembang
sejak revolusi industri abad 18. Motivasi imperialisme modern bertumpu pada
industrialisasi, dan kemajuan dibidang ekonomi. Lahirnya sesudah revolusi
industry.
B. Sebab-sebab Terjadinya Imperialisme
Keinginan untuk menjadi jaya,
menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht), hasrat
untuk menyebarkan agama atau ideology, semua itu dapat menimbulkan
imperialisme. Namun pada awalnya, tujuannya bukan imperialisme, tetapi agama
ataupun ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai
"bij-product" atau hasil dari tujuan utama yaitu agama ataupun
ideologi tadi. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah negara,
maka sering tujuan pertama terdesak dan merosot menjadi alasan untuk
membenarkan tindakan imperialisme. Perbatasan suatu negara mempunyai arti yang
sangat penting bagi politik negara.
Pada bidang ekonomi. Sebab-sebab
ekonomi yang merupakan penyebab terpenting dari timbulnya imperialisme,
terutama sekali imperialisme modern adalah:
1. Keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu negara
2. Ingin ikut dalam perdagangan dunia
3. Ingin menguasai perdagangan
4. Keinginan untuk menjamin suburnya industri
C. Faktor Pendorong
dan Penghambat Imperialisme Modern
1. Faktor pendorong imperialisme modern:
a. Berkepentingan dengan penanaman modal (investasi).
a. Berkepentingan dengan penanaman modal (investasi).
b.
Memasarkan hasil industry.
c. Memperoleh bahan baku.
d. Kelebihan penduduk Eropa.
c. Memperoleh bahan baku.
d. Kelebihan penduduk Eropa.
2. Faktor penghambat imperialisme modern :
a. Pemikiran masyarakat suatu Negara yang masih kuno dan
tidak bisa menerima perubahan.
b. Rasa nyaman dan aman dengan keadaan ekonomi yang
sedang dirasakan.
c. Memiliki pandangn bahwa dengan merubah lagi system
ekonomi, maka akan mengalami penyesuaian lagi.
D. Akibat dan
Dampak yang Dirasakan Masyarakat dengan Adanya Imperialisme Modern
1. Akibat politik:
a. Terciptanya tanah-tanah jajahan.
b. Politik pemerasan.
c. Berkorbarnya perang kolonial.
d. Timbulnya politik dunia (wereldpolitiek).
e. Timbulnya nasionalisme.
2. Akibat Ekonomis:
a. Negara imperislis merupakan pusat kekayaan, negara jajahan
lembah kemiskinan.
b. Industri si imperialis menjadi besar, perniagaan
bangsa jajahan lenyap.
c. Perdagangan dunia meluas.
d. Adanya lalu-lintas dunia (wereldverkeer).
e. Kapital surplus dan penanamna modal di tanah jajahan.
f. Kekuatan ekonomi penduduk asli tanah jajahan lenyap.
3. Akibat sosial:
a. Si imperialis hidup mewah sementara yang dijajah serba
kekurangan
b. Si imperialis maju, yang dijajah mundur
c. Rasa harga diri lebih pada bangsa penjajah, rasa harga
diri kurang pada bangsa yang dijajah
d. Segala hak ada pada si imperialis, orang yang dijajah tidak memiliki hak
apa-apa
4. Dampak Positif :
a. Terjadi peningkatan SDM dalam bidang teknologi.
b. Memiliki keterampilan yang lebih beragam karena
bekerja sama dengan orang luar.
c. Banyak maslah
Indonesia yang dibantu dengan adanya kerjasama dibidang modal asing.
5. Dampak Negatif :
a. Pengangguran bertambah, karena lahan kerja mereka
sudah digantikan dengan mesin.
b. Dengan mudah bangsa lain, mengambil hasil bumi karena
modal sudah ditanamkan.
c. Negara kita menjadi objek sasaran pemasaran hasil
produksi, sehingga menjadi masyarakat/bangsa yang konsumtif.
E. Perdagangan Asia dan Munculnya
Imperealisme
Di zaman perekonomian Asia yang telah maju,
perekonomian Eropa justru masih tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan
politik dunia dalam abad ke-14 s/d abad ke-15 adalah dunia Islam, khususnya
imperium Turki Usmani yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang
semula dikuasai oleh Romawi-Byzantium. Penguasaan atas wilayah-wilayah itu
sekaligus telah menyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang
mengakibatkan barang-barang dagangan dari Timur seperti rempah-remapah menjadi
langka dan harganya melambung tinggi.
Meskipun
harganya relatif tinggi ternyata minat masyarakat Eropa waktu itu terhadap
komoditi itu tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu maka
para penguasa dan pengusaha atau pedagang Eropa berupaya mencari jalan
alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut.
Meningkatnya
permintaan baik dari Eropa maupun dari tempat lainnya seperti India secara
tidak lengsung telah mendorong para produsen di kepulauan Nusantara, khususnya
kepulauan Maluku memperluas tanaman ekspornya, terutama pala dan cengkeh.
Selain adanya perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di beberapa pulau,
seperti di Sumatera dikembangkan pula komoditi lain yang juga sangat diminati
orang-orang Eropa, yaitu lada. Walaupun harganya hanya separuh rempah-rempah,
namun waktu itu lada sudah termasuk komoditi ekspor yang penting dari wilayah
Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman ini mulanya
merupakan barang dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India barat daya, yang
dikenal oleh orang-orang Arab dan Eropa sebagai “negeri lada”. Sejak kapan lada
dibumidayakan oleh penduduk Sumatera tidak begitu jelas.
1. Emporium (Pusat Perdagangan) di Malaka
Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota pelabuhan terbesar
yang patut disebut sebuah emporium adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus
menyandang nama kerajaan itu muncul pada ke-15 M. Kemunculannya sekaligus
menggeser kedudukan Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara
geografis letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu
Parameswara menyadari pentingnya jaminan keamanan bagi negerinya yang kehidupan
ekonominya lebih banyak bertumpu pada perdagangan daripada pertanian. Agar
kotanya tetap ramai, penguasa Malaka berusaha mengamankan jalur-jalur
perdagangannya dari para bajak laut atau lanun yang berkeliaran di sekitar
Selat Malaka. Di samping itu penguasa Malaka berupaya menjalin hubungan baik
dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya, terutama Majapahit (Jawa), Siam dan Cina.
Malaka
juga mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri-negeri yang dianggapnya penting
untuk dikuasai karena menghasilkan barang-barang yang sangat dibutuhkan Malaka.
Misalnya Kampar di pantai timur Sumatera ditaklukannya karena daerah ini
merupakan penghasil lada dan merupakan pintu keluarnya emas dari daerah
pedalaman Minangkabau. Kemudian Siak juga ditaklukan dan dikuasainya karena
menghasilkan emas.
Keberhasilan
Parameswara menjalankan kebijakan politiknya, ditambah dengan perbaikan sistem
pergudangan dan perbengkelan kapal (doking), membuat kota Malaka berkembang
menjadi sebuah emporium terbesar di Asia Tenggara. Apalagi setelah penguasa
Malaka menjadi Islam pada tahun 1414, telah mendorong semakin banyak pedagang
Islam dari Arab dan India yang nota bene menguasai jalur perdagangan dari Asia
ke Timur Tengah, melakukan kegiatan bisnis-perdagangan di kota ini.
Menurut
Tomé Pires, penulis Portugis, kebijakan yang ditempuh para raja Malaka adalah
menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur
perekonomian Malaka.
Salah
satu jabatan yang erat kaitannya dengan perdagangan di pelabuhan adalah
Syahbandar. Di Malaka waktu itu ada empat orang syahbandar yang dipilih sendiri
oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi
kepentingan niaga mereka. Pertama, syahbandar yang mengurusi para pedagang
Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi para pedagang Keling, Bengali, Pegu,
dan penduduk Pasai; ketiga, syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang
Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan
Mangindanau); dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para
pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti inilah yang
mendorong Portugis berusaha menguasainya.
Bangsa
Portugis telah mendengar informasi tentang kota Malaka dengan segala kekayaan
dan kebesarannya itu dari pedagang-pedagang Asia. Atas dasar informasi itu Raja
Portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan kota tersebut,
menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya dan menetap di sana sebagai
wakil raja Portugal. Awalnya Sequeira disambut dengan senang hati oleh Sultan
Mahmud Syah (1488-1528). Sikap Sultan kemudian berubah setelah komunitas dagang
Islam internasional yang ada di bandar itu meyakinkannya bahwa Portugis
merupakan suatu ancaman berat baginya. Oleh karena itu Sultan berusaha
menangkap Sequeira dan anak buahnya. Empat kapal Portugis yang sedang berlabuh
berusaha dirusak oleh pihak Sultan, namun gagal karena para kaptennya telah
berhasil membaya kapal-kapal itu berlayar ke laut lepas. Penyerangan terhadap
Portugis juga terjadi di tempat lainnya di barat. Dengan adanya kejadian
seperti itu Portugis yakin bahwa untuk menguasi perdagangan hanyalah dengan
cara penaklukan, sekaligus mengokohkan eksistensinya dalam dunia perdagangan
Asia. Afonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang mendapat tugas untuk merebut
Malaka dengan satu perhitungan jika Malaka dapat dikuasai maka seluruh
perdagangan merica di Asia akan menjadi milik Portugis.
Sebelum
sampai ke Malaka, Portugis telah menguasai Hormuz dan Sokotra di sekitar Teluk
Persia dan Goa di pantai barat India yang kemudian dijadikan pangkalan tetap
Portugis. Pada bulan April 1511, Albuquerque berlayar dari Goa menuju Malaka
dengan membawa armada Portugis yang berkekuatan 1200 orang dan delapan belas
buah kapal perang. Perang terjadi secara sporadis sepanjang bulan Juli dan awal
bulan Agustus, yang akhirnya dimenangkan oleh Portugis.
2. Awal Kolonialisme Bangsa Barat
Di satu pihak
jatuhnya Byzantium ke tangan Turki Usmani telah menyebabkan komoditi dari Asia
Timur dan Asia Tenggara di Eropa langka dan kalaupun adany harganya sangat
mahal. Namun di pihak lainnya peristiwa itu berdampak positif karena telah
mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan di dunia Barat. Hal ini karena banyak
ahli budaya-teknologi dari Byzantium yang lari ke Barat berhasil menularkan
pengetahuannya di sana. Di Portugal misalnya, pengetahuan geografis dan
astronominya meningkat semakin baik, sehingga orang-orang Portugis berhasil
menjadi mualim-mualim kapal yang mahir dan tangguh. Kepandaian ini kemudian
dipadukan dengan berkembangnya teknologi perkapalannya mulai dari penemuan
sistem layar segitiga dengan temali-temali persegi, serta kontruksi kapal yang
semakin baik sehingga kapal-kapal mereka lebih mudah digerakkan dan lebih layak
dipakai untuk pelayaran samudra. Demikian pula teknologi persenjataan mereka
berkembang sehingga mampu menciptakan meriammeriam yang dapat ditempatkan di
atas kapal-kapal mereka. Kapal-kapal perangnya lebih menyerupai panggung meriam
di lautan daripada istana terapung bagi para pemanah atau geladak balista (alat
pelontar) seperti pada kapal-kapal Romawi pada masa Julius Caesar dan
Oktavianus Agustus. Penemuan-penemuan teknologi itulah yang kemudian mendorong
mereka untuk mencari jalur baru ke India (dalam mitos masyarakat Eropa waktu
itu, rempah-rempah berasal dari India, sehingga mereka berlayar ke timur
termasuk ke benua Amerika, adalah untuk mencari India).
Namun perlu
dikemukakan di sini, bahwa Portugis berlayar ke timur bukansemata-mata untuk
mencari rempah-rempah, tetapi juga untuk mencari emas dan sekutu untuk melawan
Turki dalam arti melanjutkan “perang salib”. Pencarian emas dan perak kemudian
menjadi penting karena kedua logam mulia itu dijadikan semacam indikator
kesuksesan satu negara, seperti dikemukakan oleh Antonio Serra bahwa kekayaan
itu tiada lain adalah emas dan perak. Politik ekonomi ini dikenal di Eropa
sebagai ekonomi Merkantilis. Paham ini mulai berkembang sekitar tahun 1500-an
dan semakin berkembang setelah terbit tulisan-tulisan dari para pendukung paham
ini, seperti Jean Colbert dari Perancis dan Thomas Mun dari Inggris.
Atas dorongan
Pangeran Henry ‘Si Mualim’, Portugis memulai usaha pencarian emas dan jalan
untuk mengepung lawan yang beragama Islam dengan menelusuri pantai barat
Afrika. Mereka berusaha mencari jalan menuju Asia (India) guna memotong jalur
pelayaran pedagang Islam, sekaligus untuk memonopoli perdagangan komoditi
tersebut.
Pada tahun
1478, Bartolomeu Diaz sampai ke Tanjung Harapan di ujung selatan Benua Afrika.
Kemudian pada tahun 1497 armada pimpinan Vasco da Gama sampai ke India.
Pengalaman di India ini telah menyadarkan orang-orang Portugis bahwa
barang-barang perdagangan mereka tidak dapat bersaing di pasaran India yang
canggih dengan hasil-hasil yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia.
Oleh karena itulah semboyan “God –Gold –
Glory” atau 3G bagi mereka menjadi relevan, karena tidak ada cara lain untuk
menguasai perdagangan Asia selain melalui peperangan dan menjadikan
daerah-daerah penghasil komoditi itu sebagai koloni.
3. Dampak dikuasainya Malaka oleh Portugis
Setelah
Portugis berhasil menguasai Malaka, mereka menemukan kenyataan yang di luar
perkiraannya. Portugis menemukan suatu kenyataan bahwa Malaka bukanlah produsen
dari semua komoditi ekspor (khususnya merica) yang dicari-cari oleh para
pedagang Barat. Kebesaran Malaka adalah karena peranannya sebagai emporium,
pelabuhan transit bagi para pedagang Asia. Dengan diterapkannya politik
monopoli serta upaya kristenisasi oleh Portugis, peranan yang disebutkan
terakhir justru terganggu. Para perdagangan Asia, khususnya pedagang Islam
merasa tidak nyaman lagi berdagang di kota tersebut. Umumnya mereka berupaya menghindari
kota emporium itu dan mencari jalan alternatif guna mencapai tempat-tempat atau
pelabuhan-pelabuhan lain yang diduga dapat memenuhi kebutuhan dagangnya.
Jalur
perdagangan di Asia Tenggara pun berubah, tidak lagi melalui Malaka tetapi
melalui pantai barat Sumatera, lalu masuk selat Sunda untuk selanjutnya
menelusuri pantai utara Jawa menuju kepulauan Indonesia bagian Timur yang
menghasilkan banyak rempah-rempah. Di jalur perdagangan baru itu tumbuh
pusat-pusat perdagangan baru, seperti Aceh, Banten, Semarang, Jepara dan
Surabaya. Sementara itu Malaka yang dihindari oleh para pegadang Islam
kedudukannya semakin merosot dan tidak pernah meraih kembali kejayaan dan
kebesarannya.
Portugis
sendiri akhirnya menyadari bahwa pentingnya Malaka adalah peranannya sebagai
pelabuhan emporium, pelabuhan transito. Guna mempertahankan fungsinya itu,
kapal-kapal Portugis belayar ke Maluku untuk mengambil komoditi tersebut. Pada
waktu itu di Maluku ada dua kesultanan Islam yang besar dalam kondisi sedang
menurun dalam kekuasaan politiknya dan saling bermusuhan satu sama lain, yaitu
Ternate dan Tidore. Selain ke Maluku Portugis berusaha menjalin hubungan
diplomatik dengan Pajajaran, satu kerajaan Hindu di Jawa Barat yang kedudukan
politiknya juga sedang menurun. Namun kerjasama dengan kerajaan ini tidak
sempat terwujud karena Pajajaran tenggelam oleh kekuatan Islam Demak - Banten. Kenyataan ini telah memaksa Portugis untuk
meninggalkan politik anti Islamnya (Perang Salib), dan berusaha mencari mitra
kerja atau sekutu dagang dari kalangan Islam. Sebab, (1) Portugis harus
menerima kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan di sekitarnya adalah Islam, dan (2)
perdagangan Islam di Asia Tenggara sampai Timur Tengah cukup dominani.
F. Mundur dan Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Islam
1. Runtuhnya Mataram
Masa
kejayaan Mataram terjadi pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1646). Pada
masa itu Mataram dua kali menyerang Batavia, yatu: pada tahun 1628 dan tahun
1629. Atas kegagalan itu Sultan Agung telah menghukum mati para panglimanya.
Sejak kegagalannya itu, Mataram mencoba mencari sekutu dengan mendekati
Portugis dan India. Namun upaya itu dihentikan karena menurut penilaian Sultan
Agung, kekuatan Portugis tidak akan mampu mengalahkan VOC. Setelah itu Mataram
berbalik melakukan hubungan baik dengan VOC. Bagi VOC sendiri, berhubungan baik
dengan Mataram jauh lebih menguntungkan daripada terus-terusan berperang. VOC
memilih mengirimkan upeti ke istana Mataram sebagai tanda mengakui kebesaran
Mataram di bawah Sultan Agung. Imbalannya armada Mataram menghentikan
serangan-serangannya terhadap kapal-kapal dagang VOC. Setelah Sultan Agung wafat, Mataram dikuasai oleh
penguasa-penguasa yang lemah, bahkan kemudian sangat tergantung kepada VOC.
Diawali oleh Amangkurat I dan Amangkurat II yang meminta bantuan VOC untuk
menumpas perlawanan Trunojoyo. Ketergantungan pun semakin menjadi-jadi setelah
kerajaan ini didera oleh intrik-intrik perpecahan di dalam istana serta
pemberontakan dari pangeranpangeran di negara-negara bawahannya. Pada tahun
1704 misalnya, VOC membantu Pangeran Puger yang berselisih dengan raja Mataram
Sunan Amangkurat III (1703-1708) yang merupakan keponakannya sendiri. VOC
membantu Puger karena jauh lebih menguntungkan daripada Amangkurat III yang
politiknya mulai menjauhi VOC bahkan disebut-sebut ikut melindungi pemberontak
Untung Surapati. Pasukan gabungan VOC dengan Puger akhirnya berhasil
memenangkan peperangan. Amangkuart III ditangkap dan dibuang ke Sri Langka. Sebagai imbalan atas bantuannya, Puger yang kemudian
bergelar Susuhunan Paku Buwono I (1704-1719) memberikan beberapa
konsesi-konsesi seperti : (1) mengakui batas-batas Batavia, termasuk Priangan
yang diajukan VOC, (2) menyetujui bahwa Cirebon merupakan daerah perwalian VOC,
(3) mengakui kekuasaan VOC atas Semarang, (4) memberikan hak membangun benteng
di mana saja di Jawa, dan (5) memberikan hak monopili atas perdagangan candu
dan tekstil. Pertentangan
antara Pangeran Puger dan Amangkurat III terbukti bukanlah intrik-intrik
terakhir yang terjadi di istana Mataram. Pertentangan di kalangan istana
kembali mengguncang istana Mataram sejak tahun 1740-an sampai tahun 1750-an,
terutama antara pihak Paku Buwono II, Pangeran Mas Said, dan Pangeran
Mangkubumi. Akhirnya berdasarkan perjanjian Gianti (13 Februari 1755) Mataram
dipecah menjadi dua, yaitu Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono dan
Jogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang kemudian menggunakan gelar Sultan
Hamangkubuwono. Beberapa tahun kemudian sebagian dari Surakarta dipecah menjadi
Mangkunegaran. Demikian juga sebagaian Jogyakarta menjadi wilayah Pakualaman.
2. Runtuhnya Banten
Di ujung barat Jawa, kerajaan Banten pada dasarnya kekuasaannya jauh lebih
kecil dibandingkan Mataram. Namun kekuatan armada dagangnya jauh lebih kuat
dibandingkan Mataram. Pada masa Sultan Ageng (1651-1683) yang dikenal dengan
sebutan Sultan Tirtayasa, Banten berhasil membangun armada dagang dengan
menggunakan model Eropa. Kapal-kapalnya yang menggunakan surat jalannya
melayari jalur-jalur perdagangan Nusantara. Bahkan dengan menjalin hubungan
baik dengan Inggris, Denmark dan Cina, Banten dapat berdagang dengan Persia,
India, Siam, Vitenam, Cina, Filipina, dan Jepang. Fakta ini sekaligus
menunjukkan bahwa sampai menjelang akhir abad ke-17, Banten masih mampu
melakukan perdagangan internasional jarak jauh, sekaligus mematahkan ambisi VOC
yang ingin memonopoli perdagangan lada. Seperti halnya Mataram, kerajaan Banten
mengalami kemunduran karena didera konflik dalam negeri, yang kemudian
mengundang hadirnya VOC. Putera Mahkota yang baru naik tahta yang kemudian bergelar Sultan Haji
(1682-1687) ternyata memiliki kebijakan politik yang tidak sejalan dengan
ayahnya. Jika ayahnya sangat anti VOC, sebaliknya ia ingin menjalin hubungan
dengan kongsi dagang Belanda itu. Otomatis ayahnya dan para elit politik Muslim
militan lainnya menentang keras kebijakan tersebut.
Pertentangan ini akhirnya meledak menjadi konflik terbuka yang disertai
tindakan kekerasan. Pada tahun 1680. Ageng Tirtayasa, yang masih diakui oleh
sebagian masyarakat Banten sebagai sultan, mengumumkan perang terhadap VOC yang
telah menganiaya para pedagang Banten. Sultan Haji yang kedudukannya terjepit
karena dijauhi para elit politik dan elit agama Islam, akhirnya menerima semua
prasyarat yang diajukan VOC sebelum membantunya.
Tuntutan
VOC itu antara lain:
(1) Semua budak-budak yang lari dari Batavia ke Banten
harus dikembalikan walaupun sudah
menjadi Islam,
(2) Semua para perampok yang mengacaukan Batavia harus
dihukum dan VOC diberi ganti rugi,
(3) Banten
harus menarik kembali dukungannya terhadap para pemberontak Mataram yang melawan VOC, dan
(4) Banten tidak boleh lagi melakukan hubungan dagang
dengan para pedagang lain,
terutama pedagang Eropa, kecuali dengan VOC.
Pada bulan Maret 1682 sebuah armada dibawah pimpinan François Tack dan
Isaac de Saint-Martin berlayar menuju Banten. Pada waktu itu kekuatan Sultan
Haji dalam keadaan kritis, terkepung oleh kekuatan ayahnya. Datangnya bantuan
itu menyelamatkannya dan kemudian dengan bantuan kekuatan VOC Sultan Haji
berbalik mengusir kekuatan ayahnya ke daerah pedalaman. Usia yang cukup tua
rupanya tidak cukup mendukung gerakan Sultan Tirtayasa. Akhirnya pada bulan
Maret 1683 dia bersama Syaikh Yusuf ulama asal Makasar tertangkap. Sultan
Tirtayasa dibawa ke Batavia, sementara Syaikh Yusuf dibuang ke Tanjung Harapan,
Afrika. Tahun 1695 Sultan Tirtayasa meninggal dalam masa tahanannya. Kemenangan
Sultan Haji dengan bantuan VOC ini sekaligus mengakhiri masa
kejayaan
dan kemerdekaan Banten.
Meskipun Sultan Haji telah menerima
semua prasyarat VOC, namun para pendukung Sultan Tirtayasa masih terus
melakukan perlawanan, antara lain dibawah pimpinan Kyai Tapa dan Ratu Bagus
Buang (pewaris tahta Banten yang sempat dibuang VOC). Serangan-serangannya
terhadap kepentingan VOC secara sporadic sangat menyulitkan VOC seperti terjadi
di Selat Sunda, sekitar Bandung, Bogor (Buitenzorg), dan akhirnya melibatkan
diri dalam pemberontakan di Mataram. Setelah itu dia menghilang beserta
pengikutnya. Dengan takluknya
Mataram dan Banten, perdagangan di pulau Jawa praktis didominasi oleh VOC,
terutama yang berkaitan dengan perdagangan internasional.
3. Supermasi VOC di Kep. Indonesia bagian Timur
Dalam menghadapi para penguasa-penguasa di kepulauan Indonesia bagian
timur, VOC menjalankan politik dan taktik yang relatif sama dengan yang mereka
praktikan di Jawa. Di kepulauan Maluku misalnya, VOC berusaha melumpuhkan
perlawanan kaum Muslim Hitu di bawah pimpinan Kakiali yang bergelar Kapitein
Hitu (semula yang mendapat gelar ini adalah ayahnya yang pro VOC) dengan
berupaya mendekati raja Ternate. VOC menyatakan bersedia mengakui kedaulatan Ternate atas Seram dan Hitu
serta menggaji raja Ternate sebesar 4.000 Real Spanyol setahun. Sebagai
imbalannya, Ternate harus menghentikan semua penyelundupan perdagangan cengkeh
dan diserahkan kepada VOC. Perjanjian ini menjadi tidak efektif karena Kakiali
sebagai kapitein Hitu tidak bersedia mengikuti perjanjian itu. Namun ada
satu hal yang menguntungkan VOC, yaitu Malaka telah berhasil mereka kuasai
(1641) sehingga kekuatan lautnya bisa dipusatkan untuk menumpas perlawanan
Kakiali dan kawan-kawannya. Akhirnya VOC berhasil membunuh Kakiali setelah
terlebih dahulu berhasil membujuk seorang kebangsaan Spanyol yang menjadi
pengikut Kakiali. Setelah Kakiali dibunuh, benteng pertahanan kaum Muslim Hitu berhasil direbut. Meskipun demikian orang-orang Hitu
terus melakukan perlawanan secara sporadis dan berkali-kali membentuk komplotan
anti VOC. Kesempatan VOC
untuk menguasai perdagangan di Maluku pun semakin terbuka, sewaktu raja Ternate
Mandarsyah dikudeta oleh kalangan istana dan melarikan diri ke benteng VOC
untuk minta bantuan. VOC mengabulkannya dengan menyodorkan berbagai persyaratan
yang sangat menguntungkan VOC, antara lain mengenai monopili perdagangan
cengkeh. Setelah itu sejak tahun 1652 sampai 1658 terjadi peperangan di sekitar
Hoamoal yang berakhir dengan kemenangan VOC. Penduduk Hoamoal yang tersisa yang
masih anti VOC dibuang ke Ambon dan semua tanaman di daerah itu dimusnahkan.
Hegemoni VOC di Maluku semakin lengkap setelah tahun 1663, Spanyol menyerahkan
sisa-sisa pos mereka yang berada di Ternate dan Tidore. Kemudian Spanyol
menarik semua kekuatannya ke Filipina.
Setelah Ternate dapat diatasi, untuk sementara waktu Maluku dianggap ‘aman’
oleh VOC, sehingga VOC mempunyai cukup waktu untuk memusatkan perhatiannya ke
Makasar (Gowa-Tallo). Kerajaan ini menjadi satu-satunya kekuatan maritim di
timur yang menjadi saingan VOC. Makasar dinilai oleh VOC menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah ‘gelap’ yang membahayakan. Pihak Belanda masih
melihat pedagang-pedagang Portugis masih aktif di sana sejak mereka kehilangan
Malaka. Namun untuk
menundukkan Gowa bukan masalah kecil. Seperti juga di daerah-daerah lain, VOC
baru mampu menundukkan lawannya, jika ada suatu kelompok berpengaruh di
kerajaan tersebut yang mau bersekutu dengan pihaknya. Akhirnya VOC dapat
menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis, La Tenriatta to Unru’
(1634-1696), yang terkenal dengan nama Arung Palaka.Penguasaan Gowa atas kerajaan-kerajaan
Sulawesi Selatan lainnya memang masih memberikan otonomi yang cukup luas bagi
penguasa setempat. Namun bagimanapun tindakan penguasa Gowa atas mereka tetap
menimbulkan rasa benci. Pada tahun 1660 sekitar 10.000 orang Bugis dari Bone
(termasuk Arung Palaka) pernah melakukan pemberontakan, namun gagal. Dari
sekian orang yang berhasil lolos, lalu pergi ke pulau Butung meminta bantuan
VOC. Kesempatan ini dipergunakan dengan baik oleh VOC. Pada tahun 1667 kekuatan
gabungana antara VOC dan Bone berhasil mengalahkan Makasar. Sultan Hasanuddin
sebagai Sultan Makasar terpaksa harus menandatangani perjanjian Bongaya (18
November 1667) yang sangat merugikan, terutama bagi perkembangan ekonomi
masyarakat di Makasar dan Sulawesi Selatan. Sultan Hasanuddin mencoba melawan
kembali mulai bulan April 1668
sampai Juni 1669. Namun kekuatan Makasar kembali mengalami kekalahan yang lebih
menentukan, sehingga Makasar benar-benar harus melaksanakan perjanjian
Bongaya.Setelah Makasar runtuh, secara teori tidak ada lagi kekuatan maritim di
kepulauan Nusantara yang mampu mangadakan perlawanan terhadap VOC. Akan tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian. Sultan Tidore, Jamaludin yang naik tahta
tahun 1757, mulai menunjukkan perlawanan. Ia tidak puas dengan perjanian yang telah
disepakati penguasa Tidore sebelumnya, yang dinilai sangat memberatkan
masyarakat dan pemerintahan Tidore. Ia menolak membayar utang dan pajak-pajak
tertentu. Alasannya penghasilan Tidore sendiri menurun terutama karena gangguan
para bajak laut. Sultan atas desakan putranya Kaicil Syaifudin (lebih
dikenal dengan sebutan Kaicil
Nuku) menolak meratifikasi perjanjian yang memberatkan Tidore, terutama
bagian yang mengharuskan menyerahkan wilayah Seram ke pihak VOC.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah apa yang dapat penyusun tampilkan dan
sajikan kehadapan para pembaca sekalian semoga bermanfaat dan semakin menambah
pengetahuan kita tentang sejarah-sejarah peradaban Islam di Asia Tenggara
terutama sekali di kawasan Nusantara.
Penyusunan makalah ini
tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penyusun memohon
maaf yang sebesar-besarnya dan penyusun sangat mengharapkan kritik beserta
sarannya terhadap penyusunan dan penyajian dalam makalah ini, agar penyusun
dapat memperbaiki kekurangan serta kesalahan dan kelemahan untuk penyajian
makalah selanjutnya.
No comments